News

Catatan Pendidikan Hardiknas 2019

Handayani

Oleh 
Doni Koesoema A

Mimpi besar Ki Hajar Dewantara (KHD) bagi bangsa ini adalah agar ideal Tut Wuri Handayani terwujud. Sayangnya, konsep handayani sebagai tujuan (telos) fundamental pendidikan justru paling sering disalahpahami. Handayani mestinya menjadi fokus bagi tiap usaha mendidik dan mengajar.

Popularisasi pemahaman atas konsep dasar pendidikan KHD dalam bahasa sehari-hari di satu sisi bisa mendiseminasi pemikiran KHD dalam imajinasi publik karena konsep ini menjadi mudah diingat dan dihafal, namun di sisi lain, ini akan membuat makna terdalam pemikiran KHD menjadi banal.

Banalisasi terjadi dalam proses penerjemahan konsep KHD dalam bahasa populer yang mudah diingat, namun sebenarnya keliru. Konsep KHD umumnya diterjemahkan dan dipahami secara sederhana seperti ini: Ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh), Ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Popularisasi dibarengi kelatahan publik, melahirkan kebanalan, kalau bukan sebuah kedangkalan yang mendistorsi kedalaman konsep pendidikan KHD.

Handayani Memberdayakan

Publik dan pengambil kebijakan bisa keliru memahami 3 kata kunci penting dalam pemikiran KHD, yaitu tulodho, karsa, dan handayani. Dari sudut filsafat, KHD memahami bahwa konsep tulodho merupakan tujuan instrumental, karsa merupakan tujuan formal (ontologis), dan handayani merupakan tujuan final pendidikan. Jadi, konsep handayani menjadi paling fundamental karena ia menjadi tujuan akhir (telos) pendidikan.

Telos pendidikan ini perlu dipahami dengan baik. Bila telos ini tidak dipahami dengan baik, tujuan pendidikan akan terdistorsi. Akibatnya, konsep tulodho dan karsa menjadi tidak berarti. Segala hal yang kita lakukan untuk perbaikan dunia pendidikan akan sia-sia karena kita sesungguhnya tidak tahu untuk apa kita mengajar dan mendidik.

Distorsi bisa diluruskan dengan meluruskan kembali konsep handayani sebagai tujuan final pendidikan. Dalam bahasa Stephen Covey, kita harus mengawalinya dari tujuan (beginning with the end in mind). Dalam konsep Tut wuri handayani, tujuan pendidikan itu terdapat dalam kata handayani, bukan tut wuri-nya.

Kata tut wuri, umumnya tidak sulit dipahami karena kosa kata ini bersifat teknis, yaitu sebuah keadaan di belakang, atau perilaku mengikuti sesuatu. Ini mirip dengan arti ing ngarso (berada di depan), dan ing madya (berada di tengah-tengah, atau di antara).

Sebaliknya, kata handayani, dalam obrolan populer seringkali diartikan dengan tindakan memberi dorongan, kadang juga diartikan memberikan dukungan dan menyemangati. Padahal, dalam berbagai tulisan KHD, kita tidak temukan satu pun penjelasan tentang konsep handayani yang mengacu pada proses pemberian motivasi.

Kata handayani berasal dari akar kata “daya”, yang artinya kekuatan, daya, tenaga. Dengan kata lain, “handayani” lebih tepat diterjemahkan dengan kata “memberdayakan”,”memberi kekuatan” ini mirip dengan konsep empowerment Paulo Freire. Handayani mengandung unsur pemberdayaan, pembebasan, dan pemerdekaan. Jadi, konsep handayani tak terkait dengan urusan memberi motivasi, mendorong, atau menyemangati.

Bagi KHD bangsa yang merdeka, hanya bisa terjadi bila setiap individu yang menjadi warganya mengalami kemerdekaan. Dalam proses pengajaran dan pendidikan, kemerdekaan dan pembebasan tidak terjadi bila individu tidak memiliki daya, atau dalam bahasa KHD individu harus menjadi handayani, terberdayakan, termerdekakan dulu. Barulah dengan demikian sebuah bangsa mampu memerdekakan dirinya sendiri.

Originalitas KHD

Dalam konteks ini, konsep pendidikan KHD sangat liberatif dan transformatif. Ia melampui pemikir pendidikan sezamannya. Bila Montessori membebaskan individu dari kungkungan aturan-aturan orang dewasa melalui aktivitas-aktivitas permainan dalam belajar, KHD meletakkan pendidikan dalam rangka transformasi bangsa. Inilah otentisitas pemikiran KHD yang jauh melampaui experiential learning-nya John Dewey, atau konsientisasinya, Paulo Friere, atau aktivismenya Montessori. KHD bukan hanya melampui, namun mengawali dan mendasari ide-ide pendidikan berikutnya dan meletakkan dasar kokoh pendidikan sebagai alat untuk pemerdekaan bangsa.

Kata kunci untuk pemerdekaan sebuah bangsa adalah mengajar dan mendidik individu sehingga handayani, menjadi individu yang berdaya. Bagaimana caranya? Guru perlu memberi ruang pengalaman bagi siswa untuk berlatih, yaitu melalui praksis harian sesuai dengan pertumbuhan kodratnya, yaitu kodrat fisik, melalui olah raga (fisik).

Olah raga bagi KHD tidak mengacu pada sport atau sejenisnya, melainkan dimensi kebertubuhan manusia. Melalui tubuh fisiknya, atau kodrat fisiknya, individu mempraktikkan nilai-nilai agar dirinya bertumbuh menjadi semakin sempurna, terberdaya. Dari sinilah konsep trisakti jiwa dalam pendidikan muncul, yaitu pikiran, rasa dan kemauan (cipta-rasa-karsa). Karsa adalah bertemunya daya cipta melalui pikiran dan kehalusan budi (rasa) dalam tindakan.

Kehendak Terwujudkan

Karsa dalam pemahaman KHD bukanlah kehendak semata, melainkan kehendak yang terwujudkan. Karsa terwujud melalui latihan dan praktik yang mempertimbangkan dimensi kodrat manusiawi. Dinamika cipta-rasa-karsa inilah yang menurut KHD, menjadi ciri kematangan individu, karakter individu. Individu hanya bisa dilihat kualitasnya dari apa yang dilakukannya.

Kata Ing madya artinya hadir, ada, tinggal bersama-sama, di antara para murid, agar murid dapat berlatih dan mempraktikkan nilai-nilai itu. Ing madya mangun karsa, karena itu kurang tepat bila dipahami sebagai “di tengah (guru) memberi semangat” sebab karsa menurut KHD lebih mengacu pada konsep praksis, bukan memberi semangat.

Karsa sebagai tujuan formal (ontologis) pendidikan menunjukkan bahwa manusia berubah menjadi individu yang matang dan bijak melalui tindakan. Tindakanlah yang mengualifikasi kualitas individu, bukan pikiran (daya cipta), atau perasaannya. Melalui tindakan dan perilaku yang terwujud individu mendefinisikan identitasnya sebagai manusia.

Pentingnya kehadiran guru di antara murid ini oleh KHD ditunjukkan dalam konsep among, atau sistem kepamongan, di mana guru memberikan hidupnya secara total pada para murid. Dalam Sistem among inilah guru wajib menjadi contoh dan teladan sebagaimana ungkapan KHD Ing ngarso sung tulodho.

Ing ngarso ini bukan sekedar berarti lokalitas, yaitu berada di depan, melainkan di depan dalam arti mendahului, atau mengalaminya terlebih dahulu. Guru yang baik telah melakukan apa yang diajarkannya. Guru harus nomor satu dalam karsa. Bila guru mempraktikkan nilai-nilai yang diyakininya, barulah dia dapat menjadi teladan bagi para murid.

Jadi, Ing ngarso sung tulodho bukan sekedar guru harus memberi contoh saat berada di depan murid saja, melainkan sebagai orang yang lebih dewasa, yang telah lebih dahulu menjalani dinamika kehidupan, ia dapat memberi inspirasi dan bukti dari nilai yang diajarkannya.

Handayani sebagai tujuan final pendidikan bisa terwujud melalui praksis tindakan yang mengubah individu secara ontologis menjadi pribadi yang lebih sempurna sesuai perkembangan kodratinya. Namun, handayani mengandaikan kehadiran guru yang menemani, dan menginspirasi para murid melalui teladan sikap sebagai orang dewasa yang telah lebih dahulu menjalani suka duka dan pahit getirnya kehidupan. Hanya melalui jalan inilah seorang guru benar-benar dapat menjadi guru, yaitu menjadi individu yang digugu (diikuti) dan ditiru (dicontoh).

Selamat Merayakan Hari Pendidikan Nasional 2019.

Jakarta, 2 Mei 2019
Doni Koesoema A. Pemerhati pendidikan

 

Sumber tulisan:

WAG IKA Driyarkara

diposting dengan ijin dari Penulis: Doni Koesoema Albertus

Leave a comment

×
Silakan menghubungi kami:
Senin-Jumat pada 07.30 - 15.00 WIB
atau email kami: sangtimur_smak@yahoo.co.id
×